Cidera pada Permainan Volly dan Pemulihan oleh Fisioterapi
Cidera…. Kejadian ini adalah hal yang sangat disukai oleh seorang atlet. Latihan yang serius, menjaga kondisi umum, dan hidup yang teratur adalah upaya yang sering dilakukan oleh atlet bukan hanya untuk mengejar prestasi tetapi juga untuk mencegah cidera. Namun demikian kejadian cidera terkadang tidak dapat dihindari. Karena cidera itu sendiri ada yang bersifat traumatic atau dalam bentuk kecelakaan yang terkadang tidak dapat dihindari, memang latihan yang teratur dapat mengurangi resiko cidera yang diakibatkan karena trauma berulang (repetitive injury). Karena dengan gerak yang benar dan baik maka tidak akan menimbulkan beban yang berlebih sehinggan dapat terhindar dari cidera berulang.
Akan tetapi tidak demikian terhadap cidera yang bersifat trauma langsung. Terkadang kita sudah mempersiapkan kondisi fisik dengan baik latihan dengan teratur namun ketika sedang meloncat kemudian terjatuh di atas kaki musuh atau temannya bisa menyebabkan cidera karena trauma. Problem terbesar yang dihadapi adalah cidera karena trauma menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih besar dan lebih parah dari cidera karena trauma berulang. Pada kejadian trauma langsung jaringan akan mengalami proses perdarahan dan terkadang sampai mengalami robekan total. Jika terjadi robekan pada jaringan maka proses pemulihan atlet akan mengalami proses yang panjang. Pemberian RICE (istirahat, kompres es, kompresi dan elevasi) akan dapat meminimalisasikan kerusakan jaringan, namu tetap saja jaringan yang mengalami robekan akan tetap membutuhkan waktu yang lama dalam pemulihannya.
Masa pemulihan bagi seorang atlet adalah masa yang sangat berat untuk dijalankan. Pada masa ini atlet harus mampu melawan rasa sakit dan tidak mampu bergerak di satu sisi, tapi juga harus punya kesabaran yang tinggi dalam menjalani masa pemulihan tersebut. Jika masa pemulihan tidak dijalani dengan baik maka atlet tidak dapat berprestasi seperti sebelum mengalami cidera atau akan dapat mengalami cidera yang berulang . masa pemulihan tersebut akan berjalan dengan baik apabila dilakukan kolaborasi yang baik antara pelatih, pelatih fisik dan fisioterapi.
Penanganan terhadap cidera tersebut terjadi dalam beberapa fase, dimana pada setiap fase , baik fisioterapi, pelatih fisik dan pelatih memiliki peran masing masing.
Fase 1(0 – 2 minggu) : adalah fase akut atau inflamasi pada fase ini terapi latihan ditujukan untuk mengurangi nyeri dan begkak, menambah gerak sendi, meningkatkan kembali kemampuan otot untuk berkontraksi, memperbaiki rangsang sendi dan perawatan luka. Pada fase ini latihan yang diberikan betul betul terkontrol hanya untuk mendidik kembali otot untuk berkontraksi. Pada fase ini peran fisioterapis yang tahu tentang proses penyembuhan jaringan sangat vital dalam memberikan program pelatihan pada fase satu ini.
Fase 2 ( 2 minggu s/d 16 minggu) adaptasi anatomi dan penguatan. Jika atlet sudah tidak lagi merasa nyeri operasi, gerak sendi baik menekuk maupun lurus sudah normal, disertai tidak ada lagi bengkak pada daerah cidera dan mampu berdiri satu kaki lebih dari 30 detik, maka latihan ditingkatkan pada fase kedua. Pada fase ini mulai diperkenalkan latihan beban di gym untuk memperkuat dan memperbesar otot. Pada fase ini mulai dilatih kembali kemampuan melompat dan penguatan otot otot core untuk stabilisasi. Juga mulai dilatih kemampuan kontraksi konsentrik dan eksentrik dari atlet untuk meningkatkan kontrol gerakan gerakan pada cabang olahraga masing masing. Pada fase ini fisioterapis mulai berkolaborasi dengan personal trainer, terutama dalam menentukan beban latihan bagi latihan beban di gym serta menentukan circuit training yang akan dilakukan. Namun demikian kontrol terhadap pola gerak normal dan resiko munculnya cidera berulang tetapmenjadi perhatian yang lebih
Fase 3 (10 – 16 minggu) pada fase ini diharapkan seorang atlet sudah memiliki kemampuan otot yang mumpuni dimana besar otot kedua bagian baik yang cidera maupun tidak sudah baik, tingkat stabilisasi sudah baik ditandai dengan mampu berdiri satu kaki sambil lempar tangkap bola pada permukaan yang tidak rata. Atlet juga mampu brideging satu kaki selama 45 detik dan mampu naik sepeda statik selama 20 menit tanpa keluhan. Jika kemampuan itu sudah dipenuhi maka latihan dapat ditingkatkan dari kemampuan melompat ke berlari. Kemampuan berlari memang lebih sulit dilakukan karena secara biomekanik terdapat gerakan gerakan yang bersifat kontra lateral. Pada fase ini fisioterapis sudah mengurangi perannya dalam menyusun dosis latihannya. Dosis latihan sudah ditentukan oleh seorang pelatih strenght dan conditioning. Peran fisioterapi adalah tetap menjaga body aligment dan postur yang baik.
Fase 4 (14 sd 24 minggu) adalah fase persiapan kembali keolahraga. Untuk memasuki fase ini seorang atlet sudah tidak memiliki rasa nyeri, mampu lompat dan mendarat satu kaki, mampu jogging 20 menit, pola gerak dan lari baik. Pada fase ini latihan yang diberikan adalah latihan dalam bentuk peningkatan agility, aktivasi neural, peningkatan kecepatan, dan juga daya tahan. Selain itu hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah latihan khusus untuk cabang olahraga masing masing. Fisioterapis dan Pelatih harus pandai pandai menentukan latihan yang sesuai dengan aktifitas pada cabang olahraga masing masing. Pelatih pada fase ini memegang peranan penting dalam menentukan desain katihannya.
Jika seorang atlet mengikuti program latihan sesuai dengan fase fase diatas dengan seksama dan penuh kesabaran maka atlet tersebut dapat kembali melakukan kegiatan olahraganya seperti sebelum cidera. Itulah yang terjadi di perbagai negara dimana seorang atlet sehabis lepas cidera tetap bisa berprestasi seperti sebelum cidera. Selain program latihan yang sesuai seperti yang telah digambarkan diatas yang juga tidak kalah pentingnya adalah siapa yang mengawasi dan bertanggung jawab terhadap program latihan. Banyak yang belum mengetahui bahwa yang paling sesuai dalam mengawasi program latihan adalah Fisioterapis. Didalam pendidikan untuk menjadi seorang fisioterapis dipelajari secara mendetail anatomi terapan dan Biomekanik. Yang menjadi garapan fisioterapis adalah gerak dan fungsi sehingga pola gerak normal mutlak diketahui oleh seorang fisioterapis. Pada olehraga bergerak dengan pola gerak yang normal adalah suatu keharusan, atlet harus mampu lari, lompat dan lempar serta memukul dengan pola gerak yang normal, karena tanpa pola gerak normal mustahil seorang atlet dapat berprestasi dan terhindar dari cidera. Untuk itu dalam penangannnya peran fisioterapis sangatlah penting dan menjadi seorang fisioterapis dibutuhkan pendidikan khusus untuk menjadi fisioterapis yang tidak bisa diperoleh oleh pendidikan lain yang sepertinya serupa. Walaupun demikian dalam penanganan cidera olahraga tersebut fisioterapis tidak bisa bekerja sendiri, seorang fisioterapis tidak dibekali ilmu yang cukuop dalam menentukan desain latihan meliputi bentuk, dan dosis latihan. Untuk itu kolaborasi dengan seorang pelatih khususnya pelatih fisik sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan atlet. Setiap profesi akan berperan masing masing yang saling melengkapi sehingga dapat memulihkan atlet.
Bila dilakukan penanganan dengan baik maka cidera atlet bukanlah kiamat bagi atlet, dia akan tetap bisa berprestasi asalkan mendapatkan penanganan yang tepat ditangan yang tepat pula. Seperti kata pepatah yang mengatakan Right man in the right place akan menghasilkan hasil yang optimal.
sumber : https://www.google.co.id/search?q=peran+fisioterapi+dalam+olahraga+volly&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiKgYTeuNHXAhXCPo8KHdqHCeYQ_AUICigB&biw=1366&bih=623#imgrc=g0UU034jAd7paM:
Nama : Firna Alisha Septyana
NIM : P27226017016
Kelas : D3A Fisioterapi 17
Komentar
Posting Komentar